JAKARTA - Hari ini, 23 tahun yang lalu, 6 Oktober 1998, Majalah Tempo terbit kambali. Kehadiran Majalah Tempo dinantikan oleh segenap penikmatnya. Momentum kebangkitan itu dimanfaatkan empunya majalah untuk mengenalkan kembali laporan unggulannya.
Sebelumnya, Majalah Tempo dibredel dua kali oleh pemerintah Orde Baru (Orba). Keberaniannya mengungkap kebobrokan Orba jadi musababnya. Majalah Tempo diberedel 12 April 1982, kemudian kembali dicabut izinnya pada 21 Juni 1994.
Rezim Orde Baru (Orba) terkenal anti kritik. Perihal itu bahkan sudah jadi rahasia umum. Barang siapa yang melemparkan kritikan, maka akan menerima ganjarannya. Dari dicekal hingga penjara. Dalam industri media massa apalagi.
Orba mampu menancapkan kuasanya untuk dapat mengontrol isi media. Citra baik akan diamini. Namun, tidak demikian dengan citra buruk. Terutama menjelekkan Presiden Soeharto. Instrumen aturan pun disiapkan. Sistem kontrol media disiagakan. Tujuannya supaya stabilitas nasional tak terganggu.
Contoh paling nyata kuasa Orba adalah pada awal mula Soeharto mengambil alih pemerintahan. Empunya kuasa tancap gas memberedel banyak surat kabar. Pun induk organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang notabene menaungi insan media disetir untuk kepentingan penguasa.
Di atas kertas pemerintah Orba memberikan ruang untuk kritik sebebas-bebasnya, tapi bertanggung jawab. Narasi itu tampak bijak dan enak didengar. Masalahnya cuma satu: tak sesuai realita di lapangan. Media yang mengkritik akan segera ditindak. Sebab, tiada pisau ukur yang pasti dalam mewartakan berita supaya tak menyinggung.
“Penguasaan Soeharto dan keluarga Cendana di bidang media cetak juga dilakukan secara tidak langsung. Kroni Soeharto, seperti Bob Hasan yang kerap dijuluki Raja Kayu, dalam kapasitasnya pemilik PT Aspex Papers menjadi pemegang monopoli suplai kertas yang merupakan bahan baku utama bagi penerbitan, termasuk penerbitan pers.”
“Hidup matinya media cetak bahkan tergantung dari harga kertas di mana posisi sebagai distributor sangatlah vital. Lewat ‘politik kertas’ inilah, Penguasa Orde Baru, khususnya kroni dan keluarga Cendana memiliki ‘kuasa’ yang efektif bagi banyak penerbitan pers,” ungkap Rully Chairul Azwar dalam buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009).
Majalah Tempo adalah salah satu media massa yang pernah kena beredel pemerintah Orba. Majalah Tempo dilarang terbit sementara pada 12 April 1982. Penyebabnya karena Majalah Tempo berani mewartakan pemberitaan sensitif – jika tak mau dibilang kebobrokan pemerintah.
Petinggi Tempo, Goenawan Mohamad pasang badan. Ia berani minta maaf. Orba pun mencabut pemberedelan Majalah Tempo pada 7 Juni 1982. Namun, 12 tahun kemudian, Majalah Tempo kembali berulah. Majalah Tempo mewartakan adanya indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur.
Pemerintah Orba Berang. Tempo diberedel untuk kali kedua pada 21 Juni 1994. Empunya kuasa takkan memberikan ruang kembali Tempo terbit. Nyatanya, takdir berkata lain. Soeharto dan Orde Baru runtuh duluan. Alhasil, pada pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie, Majalah Tempo terbit kembali pada 6 Oktober 1998.
“Setelah berakhirnya rezim Orde Baru lewat reformasi 21 Mei 1998 dengan pengunduran diri Presiden Suharto, maka pada tanggal 6 Oktober 1998 Majalah Tempo diterbitkan kembali dengan penerbitnya PT. Arsa Raya Perdana dengan editorialnya: Kami makin sadar ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang nafkah dan kepuasan profesional, yaitu kemerdekaan dan harga diri," ungkap Bakdi Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019).
TEMPO.CO, Jakarta - Terkait pemberitaan dugaan kasus korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur yang diprakarsai Menteri Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie, membuat Majalah Tempo dibredel oleh Pemerintah Orde Baru 27 tahun silam. Hal ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur dapat membahayakan stabilitas nasional.
Tidak hanya Majalah Tempo, saat itu dua media lain yang dibredel Pemerintah Orba adalah Editor dan tabloid Detik. Namun, yang membedakan, Majalah Tempo melawan keputusan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penetapan Pembredelan
Setelah memuat kabar tentang kasus korupsi pembelian kapal perang, Pembredelan ini diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko.
Menurut Goenawan Mohammad, salah satu pendiri Tempo, saat pembredelan tersebut terjadi, sudah tidak ada lagi harapan Tempo untuk dapat terbit kembali. Hal ini dikarenakan Rezim Soeharto meminta berbagai persyaratan. “Pembreidelan di awal 1990-an berlaku buat seterusnya; suratkabar atau majalah hanya diizinkan terbit kembali jika memenuhi sejumlah syarat kepatuhan — dan harus dengan nama baru,” kenang pria yang akrab disapa GM tersebut.
Perlawanan Terhadap Pemberangusan.
Alih-alih menjadi titik nadir sejarah pers Indonesia, momentum ini menjadi tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Pada 21 Juni 1994 menjadi momentum bagi kebebasan pers di Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, wartawan melawan setelah sering terjadi pembredelan yang dilakukan pemerintah.
Mantan Pemimpin Redaksi Tempo kala itu, Bambang Harymurti atau yang akrab disapa BHM mengatakan, “Antara sedih dan marah.” Peristiwa yang seakan terekam tak pernah mati di dalam ingatannya, BHM menceritakan saat itu suasana kantor riuh, ramai. Goenawan Mohamad menyampaikan pidatonya pascapembredelan. Ia masih teringat dengan kata-kata Goenawan Mohamad. “Kita boleh kalah, tapi tidak boleh takluk.”
GM juga menuliskan ketika ia bertemu dengan Sarwono Kusumaatmadja, (Menteri Negara Lingkungan Hidup), salah satu menteri yang menunjukkan simpati kepada majalah Tempo sepekan setelah ultimatum yang dilayangkan oleh Hashim, Sarwono bertanya mengapa GM melawan keras tindakan pembredelan tersebut, “It is about self-respect,” kata GM dalam memoar yang pernah diupload di akun Facebooknya.
Perlawanan ini tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup internal Tempo saja, sehari setelah pencabutan SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Tempo, percikan api mulai memantik amarah para wartawan muda hingga aktivis dan mahasiswa.
Bahkan, di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Dalam aksinya mereka mendesak Harmoko untuk membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan demonstran.
Sedangkan masa aksi di Yogyakarta melakukan aksi dengan membungkus kantor biro Tempo di sana dengan kertas putih. Kemudian pada 27 Juni 1994, saat polisi membubarkan paksa demonstran terjadi kerusuhan yang menyebabkan puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.
Tidak bisa dipungkiri lagi, era 1990-an banyak terjadi kemelut di dunia politik Indonesia. Beragam aksi massa yang protes terhadap kebijakan Soeharto sering membanjiri jalan-jalan ibu kota hingga gedung parlemen. Tak jarang, masa aksi yang terluka akibat bentrok dengan aparat. Bahkan, tidak sedikit pula masa aksi yang gugur ketika aksi berlangsung.
Pembredelan Majalah Tempo juga menjadi salah satu hal yang mencederai perpolitikan di Indonesia. Aksi-aksi yang sudah dijelaskan sebelumnya menjadi tanda pentingnya pers yang berfungsi sebagai watchdog demokrasi dan hak asasi manusia.
Tempo yang tidak berhenti melawan juga membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam perlawanan tersebut, tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50.
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1966 dan juga salah satu evaluator sikap pemberitaan Tempo, (alm) Rahman Tolleng, menilai perlawanan dan penolakan pembredelan Majalah Tempo menunjukkan sikap kritisnya sebagai media. “Masih bisa dianggap bahwa dia bisa bertahan sebagai pers yang kritis,” kata Rahman Tolleng, 27 tahun lalu.
Baca: 50 Tahun Tempo Satu Kisah di Belakang layar Pembredelan Majalah Tempo
Masuk 21 Juni 1994, Menteri Harmoko sebagai Ketua Dewan Pers memanggil anggota pelaksana harian. Undangan itu disampaikan lewat telepon dengan jadwal rapat dimulai pukul 09.00 WIB di Gedung Dewan Pers di Kebonsirih, Jakarta Pusat.
Jakob Oetama, pemimpin harian Kompas, datang terlambat dalam rapat. Selain Harmoko serta Dirjen Pers dan Grafika Subrata, hadir dalam ruangan Sjamsul Basri dari Suara Karya dan Handjojo Nitimihardjo dari kantor berita Antara.
Jakob Oetama dalam kesaksian di pengadilan kasus Tempo, menyatakan pihaknya tidak merekomendasikan pemberedelan. Dari empat rekomendasi, satu di antaranya adalah mengganti Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi.
Mengalir begitu saja, saran Dewan Pers tampaknya tidak cukup sakti menahan keputusan beredel yang sudah diambil sebelumnya. Sebab, sekitar pukul 13.00 WIB pada 21 Juni 1994 itu, Handjojo Nitimihardjo dipanggil Dirjen PPG Subrata dan diberi tahu bahwa pemerintah hari itu menutup tiga media. Sesuatu yang melenceng dari saran Dewan Pers.
Sore harinya sekitar pukul 16.00 WIB, Dirjen PPG Subrata mengumumkan pemberedelan tersebut.
Pendiri Tempo, Harjoko Trisnadi, mengatakan, media massa era Orde Baru memang wajib mengantongi surat izin terbit dalam bentuk Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Di dalamnya wajib tertera nama pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan pemimpin perusahaan dan harus disahkan di Departemen Penerangan.
Sebab itu, konsekuensinya media massa dapat dicabut kapan saja. Seperti yang pernah dialami Tempo pada pemebredelan pertama 1982, lantaran dianggap terlalu keras mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar, pada Pemilu 1982. Saat itu, izin terbit Tempo dicabut selama tiga bulan.
"Tapi yang kedua kalinya (21 Juni 1994) final. Enggak bisa terbit lagi," ujar Harjoko.
Dengan selembar surat beredel, kapal bernama Tempo itu langsung karam. Walau kemudian terbukti tidak untuk selama-lamanya.
Isi surat beredel dari Departemen Penerangan tanggal 21 Juni 1994 sendiri tidak menunjukkan jelas alasan pemberangusan. Hanya disebut, 'Isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab'.
Juga disebutkan, penertiban terhadap Tempo diambil untuk membina dan mengembangkan pers nasional sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Termasuk demi terbinanya stabilitas nasional di Republik Indonesia.
Tempo yang menolak keputusan pemberedelan itu lantas menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo pada 3 Mei 1995 dan akhirnya dapat kembali terbit.
Namun Majalah Tempo baru bisa terbit kembali pada 6 Oktober 1998, setelah empat tahun mati suri. Edisi kelahiran kembali ini memuat laporan utama sekitar kasus pemerkosaan yang menimpa etnis Cina selama masa-masa kerusuhan bulan Mei 1998.
Dilansir dari "Majalah Tempo: Tidak Sekedar Kembali", Edisi: 7 Maret 2011, kala itu ada seorang tokoh yang dekat dengan kekuasaan menawarkan kesempatan agar Tempo bisa terbit lag setelah diberedeli.
Lima hari setelah pemberedelan, dia mengundang Pemimpin Umum Tempo Eric Samola dan beberapa pimpinan lain untuk bertemu di sebuah hotel. Dia menawarkan, Tempo bisa terbit lagi tapi dialah yang menguasai hak mengangkat dan memberhentikan redaksi.
Tawaran itu ditolak dan Tempo memilih melawan pemberedelan lewat pengadilan dan aksi-aksi demonstrasi. Sebagian yang lain menerbitkan publikasi bawah tanah, hingga internet. Namun, zaman belum berpihak. Tempo terus terbentur tembok kekuasaan yang sedang di puncak kegarangannya.
Hingga akhirnya, berembus angin perubahan pada 1998, bersama makzulnya Presiden Soeharto. Penguasa baru tidak lagi mengontrol pers, dan peluang Tempo terbit kembali terbuka lebar.
Dengan sekelumit perdebatan, diputuslah kelahiran kembali Tempo. Urusan selanjutnya adalah modal yang belum ada. Diskusi kembali terjadi dan diputuskan modal awal pinjam dari PT Grafiti Pers.
Jumlah awak yang minim tak membuat gentar. Semangat malah kian membara.
Kebebasan pers pun mulai dirasakan setelah kejatuhan Soeharto. Aturan izin terbit sudah dihapus, bahkan Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
%PDF-1.7 4 0 obj (Identity) endobj 5 0 obj (Adobe) endobj 8 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 53900 /Length1 113668 /Type /Stream >> stream xœì½ |TÕõ~Î}ofÞ,Él™ÌL–Ù’É$™ì 32 IÈFˆ$ �€Aî\"ZqCkmÙÜZÆD1¸Ú¢Uk˯j+P•ª…Z¥n0ÿsßL[¬üÿŸ‚ÿœ™û½ë»ï¾ûÎ9÷œûÞ$€ `%¡«ºµ~ÒÊ?¿ðú§ RÓªkj!C1ðÞ©•cRË”Ööv;àÃËôuMmuå«ë¯ °\ (™Òš_tåÇ;þ €ŸÐñÓ«'ÏøìÇo’ ´OœwÑÜ®éoþà¶=Ԧ鼋—»Ø›ÒK ?Júkg×ù9çý‘Î}‡@™yþÜž.°�šÆ÷0õg8ÿÂË:;�?à‘{ú.œÑ¥“£ù ƒÆsQÓÂsçÔuÉO¨ï+©}éB*0Öþ�òÔ?¤/¼hù¥WmLØÀf ˜³/X¶DµEµpIï…KÏ›kïý p>�_3—vÅÿÕtÿ;ªw]´`ùܤûn=ðIš/¨[2÷¢Ïþzãq:~?Mê®®¥=Ë#Åp)�÷FÞ¾kÙ‚®{þïÀ÷K ŒWÉs¯PýxÍy¯¯›£÷±”,§M~ŽÇ¯jÿ/pâÞãiÏ‘:)«Q¢ão‚=¨Í=qï‰{µçÈ=� q�ܦ VÐ}½:Ò ù0�:™BçeT+ëq=(@R(Ä_óc¢1+€K™ E&*˜B¡ñ °Õ!šžÁ¾›ê›§@\‘/¢c�:ÙàFù¼Š'ø•‚ ÖC/QÂ×ëƒâ‘yÕ-�¡Ü…ÿÜN,¦óÆHñ°À(ýÏ“0u(ý´ ¯ó‚x?hF¶em�£2@†\7ªÅ}�ÅÓB”Êõ÷@žøqú(}kH:Xæ¿I?…¼.c¤¡ô? � ßPþcÐ�l‹kÁ#^ÎØqö8ä´2åú��FÇ(¾v (\EÁCÁKAGÁE¡–Âl ! %¼;9:ØNx-òé`;á&¹Í`»L ×PÈ¢`¦ ¢`Œ�gR¬]�ݹÚ(¤PpPˆ§�L¡ˆB%…| ¾Sm'_ûÍÑùøw„iP‹Å‘/`”Α™±†AäÃhüŸ_gñA¸‚}‹à¿ˆH&sÿ¥Fi”Fi”Fi”Fi”N?‰kÁ>”¾¦Ï¸¡üCd;_óóTת8 ÓùÂ?€é”o“ÛB“pœEù*/çƒF鿘~ÚÂãû^>Ù9,‡u:O;·x²ÚüÐsËàÌÓ×_¹¼Q4žœÛz€9”\Ð2ÉNÚAÂaÊ’Q?¢+NBÑ]KN>'œ>â§?Y¹Ý~ ËCD¥Qú j¨‘ü’,WWÕù]�^3¥¾¾M„äž3YŒ Á¤8ŸH�@9jÐDŽƒ´„ZÐE¾ ÄÆA
Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar frase "strong woman"? Apakah mengingatkanmu pada wanita dengan fisik besar? Atau wanita yang bisa melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan pria? Kali ini, mari kita melihat definisi strong woman dari perspektif Firman Tuhan, seperti yang ditulis dalam Amsal 31:17.
Amsal 31:10-31 membahas tentang "istri yang cakap", yaitu apa dan bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh wanita Allah untuk menjadi penolong dan pendamping seorang pria. Setiap ayat dalam Amsal 31:10-31 ini memiliki fokus yang berbeda, kekuatan wanita menjadi fokus pada ayat 17,
"Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya."
Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dari ayat ini mengatakan,
“Ia menyiapkan dirinya untuk bekerja sekuat tenaga.”
"Mengikat pinggang" berbicara tentang kesiapan seseorang untuk melakukan sesuatu. Seorang wanita Allah, baik yang belum menikah atau yang sudah menikah, diminta mempersiapkan dirinya untuk bekerja sekuat tenaga. Bekerja yang kita bicarakan ini bukan cuma bekerja untuk mendapatkan upah/nafkah tetapi juga bekerja wholeheartedly melayani keluarga.
Saat ini, untuk bisa bekerja, baik memulai bisnis sendiri ataupun bekerja kepada orang lain, umumnya kita menghabiskan waktu sekitar 18 tahun menempuh pendidikan, mulai TK hingga lulus sarjana (S1). Belum lagi jika kita ingin melanjutkan pendidikan sampai S2 atau mengambil jurusan lain, tentu saja akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Masa kita menempuh pendidikan sampai kita memasuki dunia kerja bisa kita sebut dengan masa “persiapan”. Masa “persiapan” ini tidaklah mudah, kita semua merasakannya, bukan? Ada kesulitan dan ujian yang belum pernah kita hadapi, namun harus kita lalui. Tantangan-tantangan itu, mencakup fisik dan mental. Ada kalanya kita harus tetap sekolah atau menghadiri ujian saat kita sakit parah, ada saatnya kita harus berkompromi dalam tugas-tugas kelompok yang diberikan. You name it, pasti banyak hal, formal maupun non-formal, yang menjadi pelajaran bagi kita. Masa “persiapan” ini adalah masa yang membentuk kita menjadi pribadi yang siap bekerja. Jika kita bisa melalui masa “persiapan” ini dengan baik serta mengambil pelajaran-pelajaran berharga dari setiap tantangan, tentu kita akan menjadi pribadi yang siap saat memasuki jenjang kehidupan berikutnya.
Untuk melalui masa “persiapan” ini, ada beberapa karakter yang penting untuk menjalankan “pekerjaan” yang Tuhan percayakan untuk kita nanti, terutama untuk mendukung peran kita sebagai sebagai seorang istri:
Ketekunan atau perseverance merupakan kemampuan untuk tetap melakukan bagiannya dengan baik, sekalipun ada rintangan dan kesulitan yang harus dihadapi untuk mencapai tujuan. Karakter ini penting untuk memastikan kita tidak lekas menyerah. Misalnya, mereka yang ingin mengembangkan bisnis dari bawah membutuhkan ketekunan untuk tetap melakukan yang terbaik sekalipun tampaknya semua jalan tertutup. Mereka yang bekerja sebagai karyawan di suatu perusahaan juga memerlukan ketekunan dalam mempelajari sistem perusahaan atau metode pekerjaan agar menguasai pekerjaan tersebut. The first is always the hardest, tapi tetaplah tekun sampai bisa mencapai tujuan.
Sebagai contoh, kita bisa meneladani Yusuf yang tekun bekerja di rumah Potifar hingga akhirnya Yusuf mendapat kepercayaan dari tuannya.
Ketekunan kita sebagai seorang istri nanti sangat penting. Kita perlu ketekunan menghadapi urusan rumah tangga yang tidak ada habisnya, seperti anak-anak yang rewel, suami yang tidak peka, atau tamu yang sering datang.
// DON'T GIVE UP EASILY
Jika kita mudah menyerah dalam segala hal, bisa-bisa kita tidak bisa melewati masa “persiapan” kita. Bayangkan, hanya karena ujian susah lalu, kita mau berhenti sekolah. Atau, jika nilai ujian kita jelek, lalu kita menyerah untuk belajar. Kegagalan atau kejatuhan bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan, Alkitab berkata di Amsal 24:16a,
“Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali...”
Jika kita menyerah, percayalah, kita masih akan mengalami ujian yang sama sampai kita “lulus” dalam pembentukan karakter yang Tuhan mau. Allah tidak menginginkan anak-anak-Nya mudah menyerah dalam hidup ini. Bayangkan, jika Musa menyerah bicara dengan Firaun apakah bangsa Israel bisa keluar dari Mesir? Atau, bayangkan juga jika bangsa Israel dan Yosua menyerah mengelilingi tembok Yerikho karena jarak yang jauh dan udara yang panas, bisa-bisa tembok Yerikho tidak runtuh.
Dalam masa “persiapan” ini, kita juga diharapkan untuk menjadi pribadi yang setia. Setia terhadap apa? Terhadap apapun yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kerjakan saat ini. Apapun yang sedang dipercayakan kepada kita, sekecil apapun itu, kita perlu kesetiaan dalam mengerjakannya. Apa yang diharapkan? Harapannya adalah kita jadi tidak “asal-asalan” jika nanti Tuhan mempercayakan hal-hal besar untuk kita kerjakan. Misalnya, jika kamu seorang pelajar, setialah dalam tugas-tugasmu, dalam imanmu ketika sedang menghadapi ujian, setialah menjadi teladan bagi teman-temanmu. Jika kamu seorang karyawan, setialah dalam kejujuranmu, dalam pekerjaan-pekerjaan yang dipercayakan kepadamu, sekalipun mungkin kamu memiliki kesempatan untuk meninggalkan kesetiaanmu. Jika nanti kamu menjadi seorang istri, kamu akan setia dalam peranmu, tanggung jawabmu, tingkah lakumu sebagai seorang istri yang takut akan Allah.
Dalam terjemahan bahasa Inggris versi NIV, dikatakan “She sets about her work vigorously; her arms are strong for her tasks.” Sang wanita Allah selalu memulai pekerjaannya dengan semangat. Teman-teman sekalian, berapa banyak di antara kita yang terkadang memulai pagi atau aktivitas kita dengan keluhan? Dengan rasa malas? Berapa banyak di antara kita yang setiap minggu malam berpikir “Yaahh, besok udah Senin lagi”? Well, I did that too sometimes... Hehehe... Tanpa semangat, semua pekerjaan yang kita lakukan terasa berat dan tidak menyenangkan. Bahkan Alkitab berkata di Amsal 17: 22,
“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”
Tuhan mau kita mengerjakan segala sesuatu dengan hati yang gembira dan penuh semangat, dengan begitu semua pekerjaan yang dipercayakan pada kita saat ini akan terasa menyenangkan. Kita perlu belajar untuk menikmati proses yang Tuhan sediakan untuk kita lalui saat ini. Sebaliknya, tanpa semangat (semangat yang patah) membuat kita mudah mengeluh, bersungut-sungut, mudah menyerah, yang bahkan akan berdampak bukan hanya ke kesehatan rohani tetapi juga jasmani kita.
Contohnya, tanpa semangat, seorang istri tidak akan mau melakukan pekerjaannya. Bayangkan jika ibu kita “mogok” mengerjakan tugasnya memelihara rumah tangga. Rumah pasti berantakan, tidak ada makanan untuk kita makan, tidak ada pakaian bearish, menyeramkan bukan?! Lalu bagaimana kita bisa memunculkan semangat itu? Bagaimana kita bisa memulai pekerjaan kita, baik sebagai pelajar/karyawan/istri/ibu rumah tangga, dengan semangat? Ingatlah mengapa kita memulainya, dan pegang harapan-harapan yang mau kita capai. Jika kita seorang karyawan, mungkin ada promosi jabatan yang kita harapkan. Jika kita seorang ibu, ada anak-anak yang membutuhkan kita, yang perlu kita didik sampai mereka berhasil. Percayalah, jika Tuhan mempercayakan sesuatu kepada kita artinya Dia percaya kita mampu melakukannya. Dia tidak pernah membiarkan kita melakukan sesuatu tanpa membekali kita dengan apa yang kita perlukan.
Strong woman tidak bicara tentang kekuatan fisik saja. Memang kita butuh kekuatan fisik untuk bisa melakukan banyak hal, tetapi wanita yang kuat juga adalah wanita yang mampu mengendalikan pikiran dan emosinya. Dia harus kuat saat keadaan seolah-olah membuatnya harus menyerah dan meninggalkan kesetiaannya. Dia harus kuat untuk menentukan pilihan-pilihan yang sulit dalam hidupnya. Dia harus kuat menjalani apa yang Tuhan letakkan untuk menjadi kerinduan di hatinya. Di atas semuanya, dia harus kuat dalam imannya, sebab nantinya sebagai seorang istri, wanita adalah tiang doa bagi keluarganya. Hai, para putri kerajaan Allah, jadilah kuat, kuat dalam kasihmu, kuat dalam imanmu, dan kuat dalam teladanmu.
Bagi para lajang, kuat dan setialah dalam masa “persiapan”mu. Tetaplah semangat dalam melakukan hal yang Tuhan percayakan untukmu saat ini. Kuatlah dalam proses-proses hidupmu dan belajarlah menikmati semua prosesnya, karena dalam prosesmu Tuhan sedang membentuk dan mempersiapkanmu menjadi seorang wanita Allah dengan karakter yang berkenan di hadapan-Nya. Proses itu akan membuatmu siap jika pada saat-Nya nanti kamu menjadi seorang penolong dan pendamping suamimu.
Bagi yang sudah menjadi seorang istri, tetap lakukan bagianmu dengan taat dan setia, kuatlah dalam menjalankan peranmu sebagai seorang pendamping dan penolong bagi suamimu, kuat dan setialah dalam mendidik anak-anakmu. Keep your fighting spirit!!
Pendirian majalah Tempo pada 1971 diawali perundingan enam orang wartawan. Goenawan Mohamad, Harjoko Trisnadi, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, Usamah, dan Christianto Wibisono, berunding dengan Ciputra selaku pendiri/ketua Yayasan Jaya Raya, serta Eric Samola yang menjabat sebagai sekretaris. Rapat dilaksanakan di kantor Ciputra, di kawasan Proyek Senen. Pada hari yang sama rapat dilanjutkan malam hari sampai tuntas, di kediaman Ciputra di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Hasil perundingan itu menyepakati dibentuknya majalah Tempo yang dimodali Yayasan Jaya Raya.
Mengapa Tempo? Terdapat empat alasan mengapa nama “Tempo” dipilih sebagai nama majalah. Pertama, singkat dan bersahaja, mudah diucapkan oleh lidah Indonesia dari segala jurusan. Kedua, nama ini terdengar netral, tidak mengejutkan ataupun merangsang. Ketiga, nama ini bukan simbol suatu golongan. Dan akhirnya arti "Tempo" sederhana saja, yaitu waktu sebuah pengertian yang dengan segala variasinya lazim dipergunakan oleh banyak penerbitan jurnalistik di seluruh dunia.
Pada Februari 1971, terbit edisi perkenalan majalah Tempo tanpa tanggal dengan cover berjudul “Tragedi Minarni dan Kongres PBSI”. Selanjutnya, 6 Maret 1971 edisi perdananya terbit dengan cover berjudul “Film Indonesia: Selamat Datang, Sex.” Dalam masthead terbitan awal tertera Yayasan Jaya Raya, Jaya Press sebagai penerbit.
Tiga tahun kemudian, pada 4 Februari 1974, Yayasan Jaya Raya dan PT Pikatan mendirikan PT Grafiti Pers, dengan kepemilikan saham bersama 50:50. PT Pikatan dibentuk oleh para pendiri Tempo agar karyawan-karyawannya berkesempatan memiliki saham. Sejak itulah dalam masthead tercantum PT Grafiti Pers sebagai penerbit majalah Tempo.
Edisi-edisi awal majalah Tempo mengetengahkan artikel seni, gaya hidup, dan perilaku yang sampai pada taraf tertentu terasa segar dan baru. Meski mulai memiliki pasar, dalam perjalanannya, majalah ini menemui sejumlah tantangan.
Pada 1982, untuk pertama kalinya, majalah Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Partai Golkar. Pembredelan itu dilakukan Pemerintah terhadap Tempo ini terkait dengan Pemilu 1982.
Pembredelan kedua terjadi pada 21 Juni 1994. Majalah Tempo dibredel pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko. Majalah ini dinilai terlalu keras mengkritik Habibie serta Soeharto ihwal pembelian kapal bekas dari Jerman Timur.
Selepas Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di majalah Tempo tercerai-berai akibat pembredelan dan melakukan rembuk ulang untuk memutuskan perlu atau tidak majalah ini terbit kembali. Hasilnya, disepakati majalah Tempo harus terbit kembali. Maka, sejak 6 Oktober 1998, majalah ini pun hadir kembali di bawah naungan PT Arsa Raya Perdana.
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, pada 2001, PT Arsa Raya Perdana, melakukan go public dan mengubah namanya menjadi PT Tempo Inti Media, Tbk. (Perseroan) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru. Dana dari hasil go public dipakai menerbitkan Koran Tempo.